Ziarah Cinta Mbah Sumbuk di Usia 109 Tahun

18 Mei 2025 oleh Husni Anggoro | dilihat 3052 kali

Jeddah (PHU) --- Tiba di Tanah Suci setelah perjalanan panjang, mata Mbah Sumbuk berkaca-kaca. Dari bibirnya yang mulai bergetar, terucap pelan namun penuh makna, “Alhamdulillah... Mbah tekan kéné...”.

Ucapan syukur itu meluncur begitu saja saat kursi rodanya didorong masuk ke Terminal Haji Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, Minggu (18/5/2025) pagi waktu setempat. Tak sedikit yang terharu melihatnya—seorang perempuan sederhana asal Kebumen, Jawa Tengah, yang kini menjadi jemaah haji tertua Indonesia tahun ini, di usianya yang telah mencapai 109 tahun.

Ia tergabung dalam kloter JKS-33 dari Embarkasi Jakarta-Bekasi. Meski tubuhnya sudah renta, semangatnya untuk berhaji begitu besar. Ia datang bersama anaknya yang kesepuluh, menggenggam tangannya erat sepanjang perjalanan. Setibanya di terminal, dari atas kursi rodanya, Mbah Sumbuk memandang berkeliling.

"Alhamdulillah, nembe kiye numpak pesawat, wis tua.." katanya.

Mbah Sumbuk kemudian menoleh ke kanan dan kiri, lalu bertanya dengan suara lirih namun penuh harap.

“Ngendi lemeté, Le? Kowe ngerti ora, ana lemet ora neng kéné?," tanya beliau kepada para petugas.

Lemet—makanan sederhana dari singkong parut dan gula jawa—menjadi simbol kerinduannya akan kampung halaman. Petugas yang menyambut pun tersenyum, terhibur oleh kesederhanaan permintaan sang nenek.

Menurut informasi Sukmi (56), anak yang mendampingi perjalanan Mbah Sumbuk, selama kurang lebih sembilan jam penerbangan, sang ibu enggan untuk makan. Maka tak heran, ketika tiba di Jeddah, Mbah Sumbuk mulai mencari panganan favoritnya.

Salah satu petugas, Warijan, yang juga bertugas sebagai bagian dari Media Center Haji (MCH), menghampiri. Saat mengetahui bahwa Warijan juga berasal dari Kebumen, wajah Mbah Sumbuk langsung berubah cerah.

“Kowe wong Kebumen, Le?” “Inggih, Mbah. Nyong asli Kebumen,” jawab Warijan sambil tersenyum hangat.

Tanpa ragu, Mbah Sumbuk menggenggam tangan Warijan. “Yo wis, melok nyong wae yo nang Makkah. Bareng-bareng wae, Le," pintanya.

Warijan membalas dengan lembut, “Duh, Mbah… kula tugasé namung neng bandara. Wis, tenang, Mbah. Mengko nang Makkah akeh kancane aku sing nemenin, Mbah. Ana wong Kebumen. Mbah bakal keprungu karo sedulur-sedulur," kata Warijan.

Di tengah percakapan itu, cuaca Jeddah yang terik mulai terasa. Mbah Sumbuk tampak kehausan dan meminta air. “Aku pan ngombe, Le,” pintanya pelan. Petugas segera membantu memberinya air dan memastikan ia nyaman.

Untuk perjalanan menuju Makkah, Mbah Sumbuk disiapkan bus khusus yang dilengkapi lift hidrolik. Kursi rodanya langsung diangkat ke dalam bus tanpa perlu dipindahkan, memastikan kenyamanan dan keselamatannya. Semuanya dilakukan dengan penuh kehormatan—layaknya tamu agung yang ditunggu-tunggu.

Mbah Sumbuk bukan sekadar jemaah sepuh. Ia adalah simbol dari kekuatan niat, panjangnya harapan, dan dalamnya cinta kepada Allah. Di usia yang senja, ia datang memenuhi panggilan suci dengan jiwa yang utuh dan hati yang bersih.

Semoga Allah memudahkan seluruh ibadah hajinya dan menjadikan langkahnya yang perlahan itu sebagai jejak yang abadi dalam sejarah haji Indonesia—bahwa cinta dan ketulusan selalu menemukan jalannya, meski harus menunggu seabad lamanya.(ilm/MCH)