Mekkah (PHU) — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) sekaligus anggota Amirul Hajj, Arifah Choiri Fauzi, menyampaikan apresiasinya terhadap kerja keras para petugas haji dalam memberikan pelayanan terbaik kepada jemaah haji Indonesia tahun ini. Meski menyadari masih adanya kekurangan, ia menilai semangat para petugas sangat luar biasa.
“Saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para petugas haji yang telah melaksanakan tugas dengan penuh dedikasi. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, semangat mereka dalam melayani sangat patut diapresiasi,” ujar Arifah saat ditemui di Bandara Jeddah. Senin (10/6/2025).
Sebagai perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Amirul Hajj, Arifah menyoroti secara khusus pentingnya pelayanan haji yang ramah terhadap perempuan. Menurutnya, fakta bahwa lebih dari 55 persen jemaah haji Indonesia tahun ini adalah perempuan harus menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan dan pelaksanaan layanan haji ke depan.
“Kami ingin membangun haji yang lebih ramah perempuan. Kalau mayoritas jemaah adalah perempuan, maka jumlah petugas perempuan juga harus seimbang. Demikian juga pembimbing ibadah — perempuan memiliki kebutuhan bimbingan yang berbeda dengan laki-laki, dan mereka butuh pembimbing perempuan untuk bisa berkonsultasi dengan nyaman,” jelasnya.
Selain jumlah petugas dan pembimbing, Arifah juga menyoroti pentingnya penyesuaian fasilitas, termasuk toilet dan tempat tinggal yang layak dan aman untuk jemaah perempuan. Ia mengakui adanya perubahan sistem penginapan oleh pemerintah Arab Saudi yang perlu terus dievaluasi bersama.
“Fasilitas toilet perempuan harus lebih banyak karena durasi penggunaannya lebih lama. Kami akan diskusikan agar tahun depan persoalan-persoalan ini bisa diatasi,” tambahnya.
Terkait kriteria petugas haji, Arifah menekankan pentingnya representasi dari setiap daerah. Ia menyebutkan bahwa banyak jemaah berasal dari akar rumput yang belum terbiasa dengan lingkungan besar, bahasa asing, atau bahkan perjalanan udara.
“Idealnya ada petugas yang berasal dari daerah yang sama agar bisa menguatkan secara psikologis. Selain itu, petugas harus memahami benar tugasnya. Pelatihan harus dilakukan secara berkala dan serius,” ujarnya.
Evaluasi Mendalam terhadap Istithaah
Dalam kesempatan itu, Arifah juga menyinggung pentingnya evaluasi terhadap kriteria istithaah (kemampuan berhaji). Ia menyatakan keprihatinannya setelah menyaksikan langsung kondisi jemaah lansia dan disabilitas di hotel transit.
“istithaah itu bukan hanya mampu secara materi, tapi juga secara fisik. Kalau buang air kecil atau besar saja harus dibantu, tidak bisa mandi atau makan sendiri, ini sudah bukan ranah istitoah lagi. Sebaiknya dibadalkan saja, karena nilai ibadahnya tetap sama,” katanya.
Arifah menambahkan bahwa pendamping bagi jemaah lansia atau disabilitas juga harus bertanggung jawab penuh, tidak boleh hanya formalitas. Ia mengungkapkan adanya kasus di mana pendamping meninggalkan orang tuanya yang tidak bisa beraktivitas dan membebankan sepenuhnya kepada petugas.
“Petugas jumlahnya terbatas, dan mereka bukan orang yang menyelesaikan semuanya. Pendamping harus menandatangani pakta integritas, tidak boleh meninggalkan jemaah yang didampingi,” tegasnya.
Ia menutup dengan seruan agar istithaah menjadi isu penting dalam evaluasi penyelenggaraan haji, agar ke depannya ibadah ini tetap berjalan secara syar’i dan manusiawi.