Surabaya (PHU) — Direktur Bina Haji Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama, Arsad Hidayat, mengungkapkan ada beberapa tantangan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) setelah terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 7 Tahun 2023.
Tantangan tersebut disampaikan Arsad dalam Musyawarah Kerja Nasional ke I Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (FK KBIHU) Tahun 2023 yang berlangsung di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 6 s.d. 8 November 2023.
Beberapa tantangan tersebut, kata Arsad, antara lain pertama adalah tuntutan profesionalitas dalam melakukan tugas sebagai lembaga bimbingan manasik dan pendampingan jemaah. KBIHU tidak lagi mengurusi tugas-tugas yang menjadi kewenangan Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi, seperti mengatur penempatan akomodasi baik di Makkah dan di Madinah.
“Dulu masih ada KBIHU yang ngatur-ngatur penempatan Jemaah Haji baik di hotel Makkah maupun Madinah,” tegas Arsad di Surabaya, Selasa (7/11/2023).
Kedua, karena pada penyelenggaraan ibadah haji mendatang akan didominasi Jemaah Haji lanjut usia (lansia), KBIHU harus mempersiapkan diri dengan memperkenalkan manasik yang moderat dan mengangkat tema-tema kemudahan (taysir). “Fenomena jemaah lansia akan mewarnai keberangkatan Jemaah Haji setiap tahunnya,” ungkapnya.
Ketiga, jemaah semakin kritis. Arsad melihat peningkatan layanan yang diberikan setiap tahun kepada jemaah, ternyata tidak sepenuhnya diterima dengan baik oleh Jemaah Haji. Sebagian melihatnya bahwa hal tersebut wajar bahkan diantara mereka ada yang menganggapnya belum sesuai harapan. Jemaah semakin kritis melihat layanan apapun dan langsung menerimanya tanpa reserve. Melihat hal ini, KBIHU harus pandai mendengar lalu mengambil langkah-langkah konkret untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi Jemaah Haji.
“Ini luar biasa, setiap tahunnya jemaah tambah kritis. Saya pikir ketika layanan meningkat jemaah itu diam dan menerima, tapi ternyata tambah kritis dengan menganggap bahwa peningkatan layanan tersebut wajar bahkan meminta lebih dari yang ada saat itu. Yang terpenting bagi KBIHU untuk bisa mendengar lalu mengambil langkah-langkah konkret dalam mencari solusi terhadap apa yang mereka minta, itu saja respon cepat kita mengatasi permasalahan,” jelasnya.
Keempat, kata Arsad, adalah kemajuan teknologi. Arsad mengatakan penyelenggaraan haji di tahun-tahun mendatang jangan disamakan dengan penyelenggaraan ibadah haji yang terjadi di tahun ini atau sebelumnya. Banyak pengembangan teknologi yang diterapkan dalam pelaksanaan ibadah haji. Oleh karenanya, jemaah KBIHU harus melek IT dan tidak gaptek.
“Kita tidak pernah berpikir masuk ke Raudhah itu menggunakan Tasreh, sekarang mau tidak mau jemaah masuk ke Raudhah itu harus ada Tasreh dan input data jemaah itu dilakukan oleh Seksi Bimbingan Ibadah. Kedepan kalau petugas tidak ada atau berkurang jumlahnya, pastinya proses tersebut dilakukan oleh Jemaah Haji sendiri atau KBIHU,” terangnya.
Kelima adalah kompetisi layanan, dimana persaingan layanan akan menjadi salah satu pemicu para jemaah untuk menetapkan lembaga KBIHU yang akan dipilihnya. Menurutnya, kini KBIHU dipilih bukan lagi karena ketokohan pemiliknya. Siapapun yang mengelolanya, jika layanannya baik dan kompetitif, maka jemaah sendiri yang akan datang ke KBIHU tersebut.
“Fungsi kompetisi layanan itu dalam rangka meningkatkan layanan kepada Jemaah Haji,” imbuhnya.
Keenam, pendataan jemaah bimbingan. Menurut mantan Kasubdit Bimbingan Jemaah Haji Kemenag ini, hal ini sangat penting karena Kemenag sendiri memerlukan data yang kongkret terkait jemaah yang berafiliasi ke KBIHU. Selama ini terjadi di antara KBIHU yang saling klaim bahwa jemaah tersebut adalah miliknya.
“Tolong ada data yang konkret yang dipegang masing-masing KBIHU yang menjelaskan bahwa jemaah tersebut anggota KBIHU-nya, sehingga tidak terjadi saling klaim ketika mereka dihadapkan pada pemenuhan syarat kepemilikan minimal 135 jemaah untuk memperoleh porsi kuota pembimbing,” ucap Arsad.
Ketujuh, adalah sarana dan prasarana di Arab Saudi yang belum sepenuhnya mendukung layanan haji. Menurut Arsad, ada beberapa layanan di Arab Saudi yang menjadi otoritas Pemerintah Indonesia. Ada juga beberapa layanan yang sepenuhnya menjadi otoritas Arab Saudi, seperti pelayanan di Masyair (Arafah, Muzdalifah dan Mina) yang meliputi penempatan jemaah di tenda, penyiapan transportasi dan katering.
Untuk mengantisipasi kondisi yang tidak sesuai harapan, KBIHU harus memiliki skema alternatif seperti memilih penempatan jemaah lansia di hotel-hotel yang berada di dekat Jamarat untuk memberikan kenyamanan kepada Jemaah Haji dan mengantisipasi adanya jemaah yang tidak mendapatkan space yang cukup ketika di Mina.
“Lain lagi dengan layanan hotel, katering, dan transportasi antar kota perhajian saat di Makkah, Madinah, itu menjadi otoritas Pemerintah Indonesia ketika ada permasalahan pada layanan tersebut kita bisa langsung menindaklanjutinya dan menyampaikan komplain secara tertulis,” ujarnya.
Kedelapan adalah koordinasi, sinergi dan kolaborasi dalam pembinaan manasik haji dengan KUA harus ditingkatkan. Arsad menegaskan bahwa bimbingan dan pembinaan manasik menjadi tugas bersama antara pemerintah dengan KBIHU.
“Saya sampaikan pada kesempatan acara Mudzakarah Perhajian Indonesia kepada seluruh Kepala Kanwil Kemenag, Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), bahwa KBIHU bukan lagi sebagai kompetitor tetapi menjadi mitra Kemenag dalam melakukan bimbingan dan pembinaan manasik,” pungkasnya.