Syuriah PBNU Putuskan Haji dengan Visa Non Haji Cacat dan Berdosa

30 Mei 2024 oleh Winda Galuh Desfianti | dilihat 195316 kali

Jakarta (PHU) -- Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa haji dengan visa non haji atau tidak prosedural itu sah, tetapi cacat dan pelakunya berdosa. Keputusan ini menjadi salah satu hasil musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang digelar pada 28 Mei 2024 di Jakarta.

Musyawarah dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Musyawarah berlangsung secara hybrid, daring dan luring, diikuti KH. Afifuddin Muhajir, KH. Musthofa Aqiel Siraj, KH. Masdar F Masudi, KH. Sadid Jauhari, KH. Abd Wahid Zamas, KH. Kafabihi Mahrus, KH. M Cholil Nafis, KH. Muhibbul Aman Aly, KH. Nurul Yaqin, KH. Faiz Syukron Makmun, KH. Sarmidi Husna, KH. Aunullah A’la Habib, KH. Muhyiddin Thohir, KH. Moqsith Ghozalie, KH. Reza A Zahid, KH. Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan KH. Abd Lathif Malik. Sementara hadir dalam musyawarah perwakilan dari Kementerian Agama RI, Staf Khusus Menteri Agama RI Ishfah Abidal Aziz dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat

“Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non haji (tidak prosedural) adalah sah akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa,” demikian dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, Kamis (30/5/2024).

Putusan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Pertama, syarat utama dari ibadah haji adalah istitha'ah (memiliki kemampuan) dalam berbagai aspeknya, mulai mampu secara materi untuk biaya haji dan biaya keluarga yang ditinggalkan, mampu fisik dengan kesehatan yang baik untuk mendukung pelaksanaan ibadah haji hingga mampu untuk menghadirkan rasa aman selama berada di Tanah Suci. Secara umum, kemampuan fisik (badan), bekal dan transportasi menjadi hal yang paling utama dalam istitha'ah seseorang dalam ibadah haji maupun umrah. Ketiga syarat istitha'ah ini telah diatur dengan baik oleh otoritas lembaga pelaksana ibadah haji, baik pemerintah atau negara yang memberangkatkan jemaah haji (termasuk Indonesia) maupun pemerintah yang menjadi penguasa wilayah sebagai lokus pelaksanaan ibadah haji (Kerajaan Arab Saudi). Pengaturan tersebut, salah satunya adalah pembatasan kuota haji.

Kedua, di Indonesia, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji indonesia yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji mujamalah (undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi). Haji dengan visa mujamalah ini populer dengan sebutan haji furoda, yakni haji yang menggunakan visa undangan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Jemaah yang menggunakan visa ini wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).

Ketiga, banyak oknum yang memanfaatkan situasi antrean panjang beribadah haji dengan melakukan penawaran haji menggunakan visa non haji (bukan visa haji). Banyak penawaran berhaji tanpa antre dengan visa ziarah multiple (kunjungan berulang), visa ummal (pekerja), visa turis, visa umrah, dan jenis visa lainnya. Praktik haji seperti ini adalah praktik haji non prosedural, karena haji non kuota.

Keempat, banyak masyarakat yang tergiur haji menggunakan berbagai jenis visa tersebut. Haji non prosedural dianggap menjadi solusi bagi masyarakat yang tidak sabar menunggu antrean haji yang cukup lama. Namun, banyak masyarakat yang tidak mempertimbangkan berbagai faktor sebagai akibat dari haji non prosedural. Mereka tidak memahami regulasi, tidak mengetahui hak-haknya, dan tidak mengutamakan sisi pelindungan sebagai WNI di luar negeri. Berbagai faktor tersebut yang sering tidak terinformasikan dan tidak dipertimbangkan masyarakat secara matang sebelum memilih haji non prosedural.

Kelima, keberadaan para jemaah haji non prosedural menjadi persoalan dalam penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya. Karena mereka haji tanpa visa haji, maka kehadiran mereka di Tanah Suci menjadi ilegal. Mereka tidak tercatat secara resmi sebagai jamaah, baik menurut negara asal maupun bagi negara tujuan. Saat mereka hadir di Padang Arafah untuk wukuf, mereka tidak memiliki kuota lokasi tempat atau maktab sehingga mereka kadang mencaplok tenda maktab bagi jamaah haji resmi. Pencaplokan tenda merupakan bentuk kezaliman kepada pihak lain dan tidak layak dilakukan hanya untuk egoisme pribadi dalam menunaikan ibadah. Selain itu, jika mereka bermasalah hukum, dampaknya bukan mereka sendiri yang dijatuhi hukuman oleh pemerintah Arab Saudi, akan tetapi juga tentu mereka merepotkan pemerintah Indonesia, karena mereka adalah Warga Negara Indonesia.

Menurut keputusan musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, haji visa non haji (tidak prosedural) sah, karena visa haji bukan bagian dari syarat-syarat haji dan rukun-rukun haji dan larangan agama yang berwujud dalam larangan pemerintah Arab Saudi bersifat eksternal (راجع إلى أمر خارج).

Sedangkan hajinya dianggap cacat dan yang bersangkutan berdosa karena beberapa hal berikut:

  1. karena melanggar aturan syari'at yang mewjibkan menaati perintah ulil amri dan mematuhi perjanjian (يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود)

  2. Praktik haji dengan visa non haji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa non haji (tidak sesuai prosedur/ilegal) bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jamaah haji lainnya.

Praktik haji ilegal selain telah mencaplok (ghashab) tempat yang menjadi hak tempat yang disediakan untuk jamaah haji resmi, mereka juga memperparah kepadatan jamaah di Armuzna maupun di Makkah, yang borpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi sehingga dapat menimbulkan madharat bagi diri sendiri dan juga jamaah lain.

Pengurus Besar Harian Syuriyah NU merekomendasikan agar pemerintah melakukan upaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan haji non prosedural. Hal ini perlu sosialisasi regulasi tentang larangan haji non prosedural secara optimal. Dan sosialisasi tersebut dapat dipandang sebagai bentuk amar ma’ruf yang dianjurkan oleh Islam.

Penulis : Benny A | Editor : Tree Agung N