Madinah (PHU)—Di antara deru pesawat yang datang dan pergi, di bawah langit Madinah yang membentangkan terik matahari di siang hari dan dinginnya malam, ada sebuah pemandangan yang tak pernah absen.
Sebuah coaster sederhana berwarna putih selalu terparkir setia di kawasan transit paviliun Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA).
Bagi orang biasa, ia hanyalah kendaraan. Namun bagi ratusan Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daerah Kerja (Daker) Bandara, ia adalah sebuah oase. Mereka memberinya julukan mesra: Kafe Coaster.
Ini bukanlah kafe sungguhan. Tak ada etalase kaca berisi kue atau mesin espreso yang mendesis. "Kafe" ini adalah ruang rehat dan pengisi perut bagi para ksatria di garda depan pelayanan, yang setiap harinya berjibaku melayani hingga 7.000 jemaah haji gelombang kedua yang akan pulang ke Tanah Air.
Ritual harian mereka di tengah kepenatan tugas pelayanan, sering kali terhibur dengan sebuah notifikasi yang dinanti-nanti di grup WhatsApp: “Assalamualaikum Wr. Wb. Yth. Bapak/Ibu Petugas Bandara, makan siang, kopi pahit, teh manis, dan air dingin sudah siap di Pavillion 5. Terima kasih... 🙏”
Pesan singkat itu bagaikan panggilan istirahat. Para petugas yang sedang menunggu jadwal pemberangkatan jemaah, segera beranjak menuju dua mobil yang terparkir berdekatan. Satu mini van, yang bagasi belakangnya terbuka laksana dapur darurat, berisi kotak-kotak makanan, buah-buahan, dan aneka minuman. Tepat di depannya, sang "Kafe Coaster" menunggu dengan pintu terbuka dan pendingin udara yang menyala.
Di sinilah denyut kebersamaan terasa paling nyata. Kotak-kotak makanan itu dibawa masuk ke dalam coaster yang berkapasitas sekitar 20 orang. Di dalam ruang yang terbatas itulah, mereka duduk berhimpitan, berbagi lelah dan cerita.
Di balik operasional "kafe" ini, ada empat nama yang menjadi motornya: Misbah, Heri, Munakip, dan Narullah. Mereka bukan sekadar sopir atau penyedia logistik, mereka adalah jantung dari denyut pelayanan ini. Saat para petugas lain jeda dan rehat menyantap makan, Misbah dengan sigap mengambil alih tugas melayani jemaah.
Sementara Munakip, dengan senyum ramahnya yang tak pernah luntur, berkeliling menawarkan, "Kopinya, Pak? Teh manis, Bu?" Ia menuangkan air panas dari termos ke dalam cangkir-cangkir kertas, menyuguhkan kehangatan di tengah kesibukan.
Keberadaan Kafe Coaster di Bandara Madinah ini amat membantu keberlangsungan operasional layanan. Pasalnya, di bandara ini ada kebijakan bahwa para petugas dilarang untuk makan dan minum di areal layanan. Karenanya, untuk sekedar mengisi perut, para petugas harus menuju Kafe Coaster yang berada di areal parkir.
Sering kali, para petugas haji harus bergantian menyambangi "Kafe Coaster". Jika rombongan jemaah tiba-tiba datang, dengan sigap mereka membagi diri. Sebagian melompat keluar untuk melayani, sebagian lagi menuntaskan makan dengan cepat. Solidaritas yang tak perlu diperintah.
Keberadaan Kafe Coaster ini bukan tanpa tantangan. Ia harus siap dihalau oleh petugas keamanan bandara jika parkir terlalu lama. Risiko tilang selalu mengintai. Namun Heri, sang pengemudi, dengan sabar akan memutar sejenak lalu kembali lagi, memastikan semua rekannya selesai makan. Pilihan ini adalah sebuah kebijakan yang bijak. Harga makanan di dalam bandara yang selangit dan aturan ketat yang melarang makan di sembarang tempat, menjadikan Kafe Coaster satu-satunya penyelamat.
Di dalam perut coaster itulah, dinding formalitas runtuh. Lelah yang menggantung di wajah berganti dengan gelak tawa. Mereka saling melempar canda, berbagi cerita tentang tugas masing-masing, hingga mengisahkan polah lucu jemaah dari berbagai kloter. Kebersamaan dan kekompakan itu terasa semakin erat, apalagi ketika masa tugas mereka tinggal menghitung hari.
Kepala Daker Bandara, Abdul Basir, melihat "Kafe Coaster" lebih dari sekadar tempat makan.
“Mobil ini multifungsi. Selain mengantar dan menjemput petugas, ia menjadi kafe dan ruang makan darurat yang sangat efektif menjaga orkestrasi kinerja tim,” ujar Basir di Madinah, Kamis (3/7/2025)
Baginya, efisiensi waktu adalah kunci. Para petugas harus tetap bertenaga untuk memberikan pelayanan prima kepada jemaah. "Di tengah kesibukan itu, mereka harus tetap makan," tegasnya.
Pada akhirnya, saat tugas usai dan semua kembali ke Tanah Air, mungkin yang paling membekas bukanlah gedung paviliun yang megah atau landasan pacu yang sibuk.
“Kafe Coaster ini akan menjadi kenangan yang tidak akan terlupakan oleh segenap petugas bandara,” pungkas Basir.
Lebih dari sekadar kendaraan, "Kafe Coaster" telah menjadi monumen kecil dari sebuah pengabdian, sebuah kenangan manis yang akan selalu terparkir di hati setiap petugas.