Jakarta (PHU) --- Menteri Agama Nasaruddin Umar mengajak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendiskusikan hukum pelaksanaan penyembelihan Dam haji tidak di Arab Saudi, melainkan di Indonesia. Hal ini ia sampaikan dalam Mukernas IV MUI di Hotel Grand Sahid Jakarta.
"Soal Dam, kalau dijumlahkan bisa mencapai 250 ribu ekor kambing yang harus disembelih orang Indonesia di sana. Nah, bisa didiskusikan bagaimana jika 250 ribu ekor kambing itu tidak usah disembelih di Saudi, tapi cukup disembelih di Indonesia. Kambingnya, kambing Indonesia," ujar Menag, Rabu (18/12/2024).
Menag menjelaskan bahwa jika 250 ribu ekor kambing disembelih di Indonesia, maka peternak kambing di Tanah Air akan lebih sejahtera. Selain itu, dagingnya juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia.
“Kalau 250 ribu ekor kambing tidak perlu disembelih di Saudi, tapi cukup di Indonesia, peternak kambing di Tanah Air akan makmur. Dagingnya juga dapat dimanfaatkan untuk gizi anak-anak Indonesia” paparnya.
Menag turut menceritakan pengalamannya berdiskusi dengan Menteri Haji Arab Saudi, Tawfiq F Al Rabiah. Menhaj Saudi mengatakan bahwa gagasan penyembelihan Dam di negara asal jemaah sudah diterapkan oleh banyak negara.
"Saya pun bertanya kepada Menteri Haji Arab Saudi, menurut pandangan ulama Saudi seperti apa? Dia menunjuk bahwa buktinya sudah banyak negara yang melaksanakan hal tersebut, termasuk Turki," ungkapnya.
Meski demikian, Menag menekankan pentingnya mendiskusikan pandangan ini lebih lanjut bersama MUI. Menag mengatakan, sebelumnya ia pernah berdiskusi dengan Asrorun Ni’am Sholeh dari MUI terkait penyembelihan Dam di Tanah Air.
“Saya bertanya pada Pak Niam secara informal, apakah ada kitab yang membenarkan penyembelihan Dam di Tanah Air? Jawaban beliau, ‘Kami belum menemukan kitab yang membenarkan hal tersebut.’" sebut Menag.
Menag menyampaikan bahwa pendapat ulama harus dihargai dan kehendak tidak boleh dipaksakan, karena persoalan ini tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga berkaitan dengan keyakinan dan ushul fikih.
"Kita harus menghargai pendapat ulama dan tidak memaksakan kehendak, karena persoalan ini bukan hanya rasional, tetapi juga menyangkut keyakinan dan ushul fikih,” tutur Menag