Jakarta (PHU)---Pembahasan umrah backpacker mengemuka dalam berbagai media mainstream dalam beberapa waktu terakhir. Pembahasannya tidak hanya melibatkan masyarakat awam, namun juga sampai pada para elit negeri ini.
Dilihat dari berbagai sumber, kata backpacker berasal dari Bahasa Inggris yang kata dasarnya sendiri adalah back pack. Dalam Bahasa Indonesia, back pack adalah tas punggung atau lebih populer disebut dengan tas ransel. Nah, biasanya kata tersebut identik dengan turis atau wisatawan pembawa tas ransel. Inilah yang disebut sebagai backpacker.
Umrah backpacker sejatinya tidak dikenal di dalam regulasi. Namun akhir-akhir ini muncul istilah backpacker yang dikaitkan dengan umrah.
Umrah backpacker secara sederhana dapat diartikan sebagai orang yang berangkat umrah dengan budget rendah atau dalam istilah yang lebih ekstrem umrah modal nekat. Hingga sebagian orang menganggap agar dapat umrah murah maka umrah dilakukan secara mandiri tanpa melalui travel umrah (PPIU). Sehingga umrah mandiri yang hemat dan modal nekat ini lah yang akhirnya dianggap sebagai umrah backpacker. Meskipun sejatinya biaya tiket yang dipesan oleh PPIU lebih murah daripada pembelian tiket secara mandiri (free individual tour/FIT).
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief menegaskan bahwa Pemerintah telah mengatur ibadah haji dan umrah berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Menurutnya penyelenggaraan ibadah haji dan umrah harus sesuai dengan regulasi.
“Umrah harus sesuai dengan regulasi yang diatur di dalam UU Nomor 8 Tahun 2019. Di dalam Pasal 86 disebutkan bahwa perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan secara perseorangan maupun berkelompok melalui PPIU. Artinya bahwa masyarakat yg akan melaksanakan umrah harus melalui PPIU baik umrah secara perseorangan (umrah private) maupun berkelompok (group),” terang Hilman Latief di Jakarta, Rabu (18/10/2023).
Umrah mandiri atau umrah backpacker dimungkinkan bila melalui PPIU. Selain itu umrah mandiri juga perlu pemahaman yang baik tentang ibadah dan regulasi Arab Saudi.
Menanggapi fenomena umrah backpacker, Hilman menuturkan bahwa larangan lebih ditekankan bagi pihak yang mengkoordinir keberangkatan. “Larangan lebih ditekankan bagi pihak yang tidak memiliki izin sebagai PPIU dalam mengumpulkan, memberangkatkan, dan menerima setoran biaya umrah,” kata Hilman menambahkan.
Pernyataan tersebut sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2019 Pasal 115 dan Pasal 117. Pasal 115 menyebutkan bahwa “Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah.” Sedangkan di Pasal 117 disebutkan bahwa “Setiap Orang dilarang tanpa hak melakukan perbuatan mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah”.
“Bahkan bagi pihak yang tidak berizin PPIU dalam mengkoordinir keberangkatan Jemaah umrah ada ancaman pidana cukup berat. Mereka bisa dituntut dengan pidana enam tahun atau denda enam milyar rupiah,” tegasnya.
Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 122 dan 124. Pasal 122 berbunyi: Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Dan Pasal 124 berbunyi: Setiap Orang yang tanpa hak mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
Sedangkan bagi masyarakat yang melakukan keberangkatan umrah secara mandiri, Hilman menyampaikan perlunya masyarakat mengutamakan keamanan dan kenayamanan dalam beribadah. “Umrah adalah ibadah. Maka kami mengimbau agar masyarakat mengedepankan faktor keselamatan dan kesehatan. Keberangkatan umrah melalui PPIU agar Jemaah mendapatkan hak pelindungan. Keberangkatkan umrah mandiri sangat berisiko bagi masyarakat yang tidak berpengalaman bepergian ke luar negeri,” pungkasnya.
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Nur Arifin juga menegaskan perlunya umrah melalui PPIU. “Tempo hari saat kami melakukan tugas pengawasan umrah di Arab Saudi ada beberapa temuan penting. Diantaranya ada Jemaah umrah sakit yang dirawat di RS Arab Saudi sampai saat ini belum bisa dipulangkan karena beragkat mandiri sehingga Pemerintah tidak dapat meminta pertanggungjawaban pihak yang memberangkatkan untuk memulangkan,” kata Nur Arifin.
“Kami temukan juga 13 jemaah terlantar yang diberangkatkan oleh Non PPIU. Mereka sama sekali tidak menerima layanan baik transportasi, akomodasi, dan konsumsi di Arab Saudu. Jadi Jemaah hanya diberangkatkan tanpa dibekali tiket pulang dan paket layanan di Arab Saudi. Oleh karena itu kami tetap meminta agar masyarakat berumrah melalui PPIU,” ungkapnya.